Feeds:
Posts
Comments

Dalam diagnosis dan tata laksana pasien dengan kelainan hemostasis/trombotik evaluasi laboratorium merupakan suatu bagian penting.

Fisiologi hemostasis merupakan penjumlahan dari elemen protein (koagulasi, fibrinolitik, dan antikoagulasi) dan  selular (trombosit, endotel, dan leukosit) yang bekerja pada situs jejas vascular untuk mengatur perdarahan tanpa thrombosis oklusif. Kelainan hemostasis perdarahan biasanya dapat disebabkan oleh satu dari tiga kelainan, yaitu: 1. Kelainan atau defisiensi protein plasma, 2. Kelainan jumlah atau fungsi trombosit, dan 3. Kelainan pada interaksi trombosit dan dinding pembuluh darah.

Kelainan protein koagulasi dapat berupa defisiensi protein, protein abnormal yang tidak dapat berfungsi fisiologis, dan terdapat inhibitor pada situs aktif protein atau penginduksi klirens protein. Secara umum, penghambat protein koagulasi adalah immunoglobulin, meskipun telah dilaporkan juga bahwa produksi abnormal dari heparin endogen, fibronektin, atau krioglobulin dapat merupakan sumber dari inhibitor protein koagulasi. Protein koagulasi abnormal dapat berasal dari missense, delesi, maupun translokasi DNA. Sementara itu, peningkatan klirens protein koagulasi dapat terjadi dari kompleks antibody-protein yang dikenal sebagai benda asing dan dibuang dari sirkulasi.

Secara umum, hemartrosis dan perdarahan spontan jaringan dan intramuscular menunjukkan defek protein plasma, misalnya hemophilia A dan B (defisiensi faktor VIII dan IX). Petekiae, purpura, dan ekimosis dengan kelainan penyakit von Willebrand atau kelainan trombosit. Namun untuk membedakan mekanisme yang menyebabkan perdarahan sangatlah sulit dilakukan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap sangat penting dalam pemeriksaan namun tidak cukup spesifik untuk mendiagnosis kelainan perdarahan atau bekuan.

Pemeriksaan Klinik Hemostasis untuk Mendeteksi  Defek Koagulasi

  • Lee-White Coagulation Time

Waktu pembekuan Lee-White menggunakan tiga tabung yang disimpan dalam suhu 37°C, masing-masing berisi 1 ml darah lengkap. Tabung-tabung ini secara hati-hati dimiringkan setiap 30 detik untuk meningkatkan kontak antara darah dan permukaan kaca untuk melihat kapan pembekuan terjadi. Darah normal membeku secara padat dalam waktu 4-8 menit. Dahulu uji ini digunakan untuk memantau terapi heparin, yang memperpanjang waktu pembekuan.

  • Active Coagulation Time

Penambahan Celite (tanah liat halus), mempersingkat waktu pembekuan darah, mengurangi variabilitas tes, dan memungkinkan korelasi yang lebih tepat antara dosis heparin dan hasil lab. Darah normal membeku dalam waktu kurang dari 100 detik bila dimasukkan dalam tabung yang berisi Celite.

  • Bleeding time

Memeriksa hemostasis pada luka yang kecil dan dangkal dengan menentukan kecepatan pembentukan sumbat trombosit sehingga mengetahui efisiensi fase vascular dan trombosit pada hemostasis. Tes ini dapat juga mengevaluasi kelainan bawaan trombosit seperti penyakt von Willebrand. Namun ternyata pemeriksaan ini terbatas hanya untuk perdarahan kulit dan tidak berkorelasi pada organ visceral, misalnya pada tindakan operatif. Karena itu, lebih sering digunakan untuk skrining pasien dengan kelainan trombosit, misal gejala perdarahan mukokutan.

  • Hitung trombosit

Penghitungan trombosit lebih sulit dilakukan daripada eritrosit maupun leukosit karena ukurannya yang kecil dan cenderung untuk menempel dengan benda lain atau beragregasi.


  • Pemeriksaan Fase Koagulasi

ü  Activated partial thromboplastin time (aPTT)

Diinduksi aktivasi permukaan (kontak). Pada pemeriksaan ini terjadi autoaktivasi faktor XII dengan substansi bermuatan negative pada reagen. Hal tersebut kemudian memicu kaskade reaksi proteolitik pada system koagulasi. Tes ini memeriksa faktor XII, prekalikrein, HMWK, faktor XI, IX, dan VIII dari system intrinsic serta faktor X, V, protrombin dan fibrinogen dari jalur bersama . Karena pengganti trombosit yang digunakan adalah tromboplastin parsial dalam jumlah yang berlebih, trombosit tidak berpengaruh pada pemeriksaan ini, juga system ekstrinsik (faktor VII) yang memerlukan tromboplastin dari jaringan.

Uji ini dilakukan pada spesimen darah yang telah diberi sitrat. Plasma dikeluarkan dan diletakkan di tabung sampel, tempat zat ini direkalsifikasi dengan kalsium klorida 30 mM, dan ditambahkan suatu reagen yang mengandung faktor aktif-permukaan (kaolin, fosfolipid). Kaolin meningkatkan kecepatan pengaktifan kontak, fosfolipid membentuk permukaan pada tempat di mana reaksi substrat enzim koagulasi dapat berlangsung, dan kalsium menggantikan kalsium yang dikelasi oleh sitrat. Waktu yang diperlukan untuk membentuk suatu bekuan adalah waktu tromboplastin parsial (PTT). PTT yang diaktifkan dalam keadaan normal bervariasi  dari 28-40 detik. Kadar faktor di bawah 30% normal akan memperpanjang PTT.

ü  Prothrombin time (PT)

Diinduksi penambahan tissue factor (tromboplastin jaringan) yang berlebihan sehingga terbentuk perubahan tidak fisiologis pada hubungan normal faktor-faktor koagulasi dan faktor VIIa dapat mengaktifkan faktor X secara langsung menjadi faktor X a tanpa melewati aktivasi faktor IX (intrinsic). Pemeriksaan ini menggunakan fosfolipid sebagai pengganti trombosit .

PT adalah uji koagulasi yang paling sering dilakukan. Reagen untuk PT adalah tromboplastin jaringan dan kalsium klorida. Apabila ditambahkan ke plasma yang mengandung sitrat, reagen-reagen ini akan menggantikan faktor jaringan untuk mengaktifkan faktor X dengan keberadaan faktor VII tanpa melibatkan trombosit atau prokoagulan jalur intrinsik. Untuk mendapatkan hasil PT normal, plasma harus mengandung paling sedikit 100 mg/dL fibrinogen dan faktor VII, X, V, dan protrombin 10%. Pemanjangan PT dan PTT dapat terjadi karena defisiensi faktor koagulasi multipel, terapi antikoagulan oral, penyakit hati, defisiensi vitamin K, dan defisiensi faktor jalur bersama.

ü  Thrombin clotting time (TCT)

Digunakan thrombin eksogen untuk memeriksa integritas substrat fibrinogen. Uji TCT mengukur waktu yang diperlukan oleh spesimen darah yang diberi sitrat untuk membeku setelah ditambahkan kalsium dan sejumlah tertentu trombin. Uji ini mengevaluasi interaksi trombin-fibrinogen. Waktu trombin mungkin memanjang apabila terjadi defisiensi fibrinogen atau apabila terdapat antikoagulan dalam darah yang aktif dan mengintervensi kerja trombin, seperi heparin. Fibrinogen yang abnormal atau kelainan molekul fibrinogen juga dapat dievaluasi dengan uji ini.

Pemeriksaan langsung menilai konversi fibrinogen menjadi fibrin. Diperlukan jumlah minimal α thrombin (3000U/mg) yang dapat mereproduksi  bekuan fibrinogen 4-6 U/mL, dalam ± 20 detik.

Pemeriksaan Klinik jalur fibrinolitik

  • Thrombin Time

Dapat digunakan untuk menilai pengaktifan jalur fibrinolitik. Karena pengaktifan fibrinolitik menyebabkan pembebasan plasmin, yang memecah fibrin dan fibrinogen, fibrinogen dapat menurun, atau produk penguraian fibrinogen yang dibebaskan akan secara kompetitif menghambat interaksi trombin/fibrinogen. Oleh karena itu bila terdapat produk degradasi fibrinogen dalam sirkulasi, inhibisi kompetitif  terhadap interaksi trombin/fibrinogen ini dapat menyebabkan pemanjangan waktu trombin.

Gambar 1. Sistem Koagulasi berdasarkan Pemeriksaan yang Digunakan

  • Produk penguraian fibrinogen

Plasmin menguraikan fibrin sebagai substrat fisiologisnya, tetapi juga cepat menguraikan fibrinogen apabila terjadi ketidakseimbangan plasmin, fibrin, dan fibrinogen. Fragmen yang tersisa setelah digesti plasmin tidak saja gagal membeku tetapi juga mengganggu pembekuan fibrinogen. Kadar produk penguraian fibrinogen (FDP) yang tinggi juga mengganggu pembentukan sumbat trombosit. Serum normal tidak mengandung fibrinogen atau FDP, sehingga seharusnya tidak ada yang bereaksi dengan antibodi antifibrinogen. Kadar FDP yang sangat tinggi dijumpai apabila sistem fibrinolitik aktif berlebihan. Pasien dengan gangguan ini memiliki darah yang sulit atau tidak membeku sama sekali.

TES FUNGSI HATI

Mengukur tingkat produk yang dihasilkan hati disebut sebagai tes fungsi hati (liver function test/LFT). Pada LFT ada beberapa keadaan yang umum ditemukan, antara lain adalah gangguan permeabilitas dinding sel, kapasitas sintesis, dan fungsi ekskresi.

TES INTEGRITAS SEL

  • ALT (alanin transaminase) atau SGPT (serum glutamate pyruvate transaminase)

ALT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT.

  • AST (aspartat transaminase) atau SGOT (serum glutamate oxcaloacetat transaminase)

AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik penyakit hati.

  • GLDH (glutamate dehidrogenase)

GLDH bersifat unikoluker terletak dalam mitochondria. Enzim ini peka karena itu baik untuk deteksi dini kerusakan sel hati. Cortison dan sulfonil urea dosis terapi dapat menurunkan GLDH.

  • LDH (laktat dehidrogenase)

LDH adalah enzim yang ditemukan dalam banyak jaringan tubuh, termasuk hati. Peningkatan tingkat dari LDH dapat menunjukkan kerusakan hati.

TES FUNGSI SINTESIS

  • Albumin

Pada gangguan fungsi hati kadar dalam darah menurun (hipoalbuminemia). Pemeriksaan yang dapat dipakai adalah cara Bromcresylgreendan  elektroforesa.

  • Masa Protrombine (PT)

Hati merupakan tempat sintesis Vitamin K dan bahan lain untuk membantu proses koagulasi, jika terdapat kerusakan pada hati, maka akan terdapat masa protrombin memanjang.

  • Cholinesterase (ChE)

Penurunan aktivitas ChE lebih spesifik dari pemeriksaan albumin karena aktivitas ChE kurang dipengaruhi faktor-faktor di luar hati dibandingkan dengan pemeriksaan kadar albumin.

TES FUNGSI EKSKRESI

  • Bilirubin

Bilirubin adalah produk utama dari penguraian sel darah merah. Bilirubin disaring dari darah oleh hati dan dikeluarkan pada cairan empedu. Bila hati rusak maka bilirubin serum meningkat. Sebagian dari bilirubin serum termetabolisme, dan disebut sebagai bilirubin conjugated).Bila meningkat, penyebab biasanya luar hati. Bila bilirubin conjugated rendah sementara bilirubin serum tinggi, kerusakan pada hati atau pada saluran cairan empedu dalam hati. Bilirubin mengandung bahan pewarna, bila tingkatnya sangat tinggi, kulit dan mata dapat menjadi kuning, yang menyebabkan ikterus.

  • Alkaline Phosphatase (ALP)

ALP meningkat pada berbagai jenis penyakit hati (sirosis, kanker), tetapi juga dapat terjadi berhubungan dengan penyakit tidak terkait dengan hati. ALP sebetulnya adalah suatu kumpulan enzim serupa, yang dibuat dalam saluran cairan empedu dan selaput dalam hati, tetapi juga ditemukan di banyak jaringan lain. Peningkatan ALP dapat terjadi bila saluran cairan empedu dihambat.

  • γ-Glutamil Transferase (GGT)

GGT sering meningkat pada orang yang memakai alkohol atau zat lain yang toksi bagi hati berlebihan. Enzim ini dibuat dalam banyak jaringan selain hati. Serupa dengan ALP, GGT dapat meningkat dalam darah pasien dengan penyakit saluran empedu. Namun tes GGT sangat peka, dan tingkat GGT dapat tinggi berhubungan dengan hampir semua penyakit hati, bahkan juga orang yang sehat. GGT juga dibuat sebagai reaksi pada beberapa obat dan zat, termasuk alkohol, jadi peningkatan GGT kadang kala (tetapi tidak selalu) dapat menunjukkan penggunaan alkohol. Penggunaan pemanis sintetis sebagai pengganti gula, seumpamanya dalam diet soda, dapat meningkatkan GGT.

Referensi

Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seeff LB. Laboratory medicine practice guidelines, Laboratory guidelines for screening, diagnosis and monitoring hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry; 2000.

Marlar RA, Fink LM, Miller JL. Laboratory approach to thrombotic risk. In: Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory methods. 21st ed. McPherson RA, Pincus MR. [editor] China: Saunders Elsevier; 2006.

Rodgers GM, Bithell TC. The diagnostic approach to the bleeding disorders. In: Wintrobe’s Clinical Hematology 10th ed. Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer J, Rodgers GM. [editor]. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.

Schmaier AH. Laboratory evaluation of hemostatic and thrombotic disorders. In: Hematology basic principles and practice. 5th ed. Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ, Furie B, Silberstein LE, McGlave P, etc. [editor]. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2009.

Tes Hematologi Rutin

Hitung darah lengkap -HDL- atau darah perifer lengkap –DPL- (complete blood count/full blood count/blood panel) adalah jenis pemeriksan yang memberikan informasi tentang sel-sel darah pasien. HDL merupakan tes laboratorium yang paling umum dilakukan. HDL digunakan sebagai tes skrining yang luas untuk memeriksa gangguan seperti seperti anemia, infeksi, dan banyak penyakit lainnya.

HDL memeriksa jenis sel dalam darah, termasuk sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (platelet). Pemeriksaan darah lengkap yang sering dilakukan meliputi:

  • Jumlah sel darah putih
  • Jumlah sel darah merah
  • Hemoglobin
  • Hematokrit
  • Indeks eritrosit
  • jumlah dan volume trombosit

Tabel 1. Nilai pemeriksaan darah lengkap pada populasi normal

parameter Laki-Laki Perempuan
Hitung sel darah putih (x 103/μL) 7.8 (4.4–11.3)
Hitung sel darah merah (x 106/μL) 5.21 (4.52–5.90) 4.60 (4.10–5.10)
Hemoglobin (g/dl) 15.7 (14.0–17.5) 13.8 (12.3–15.3)
Hematokrit (%) 46 (42–50) 40 (36–45)
MCV (fL) 88.0 (80.0–96.1)
MCH (pg) 30.4 (27.5–33.2)
MCHC 34.4 (33.4–35.5)
RDW (%) 13.1 (11.5–14.5)
Hitung trombosit (x 103/μL) 311 (172–450)

Spesimen

Sebaiknya darah diambil pada waktu dan kondisi yang relatif sama untuk meminimalisasi perubahan pada sirkulasi darah, misalnya lokasi pengambilan, waktu pengambilan, serta kondisi pasien (puasa, makan). Cara pengambilan specimen juga perlu diperhatikan, misalnya tidak menekan lokasi pengambilan darah kapiler, tidak mengambil darah kapiler tetesan pertama, serta penggunaan antikoagulan (EDTA, sitrat) untuk mencegah terbentuknya clot.

Hemoglobin

Adalah molekul yang terdiri dari kandungan heme (zat besi) dan rantai polipeptida globin (alfa,beta,gama, dan delta), berada di dalam eritrosit dan bertugas untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah ditentukan oleh kadar haemoglobin. Stuktur Hb dinyatakan dengan menyebut jumlah dan jenis rantai globin yang ada. Terdapat 141 molekul asama amino pada rantai alfa, dan 146 mol asam amino pada rantai beta, gama dan delta.

Terdapat berbagai cara untuk menetapkan kadar hemoglobin tetapi yang sering dikerjakan di laboratorium adalah yang berdasarkan kolorimeterik visual cara Sahli dan fotoelektrik cara sianmethemoglobin atau hemiglobinsianida. Cara Sahli kurang baik, karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam misalnya karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin. Selain itu alat untuk pemeriksaan hemoglobin cara Sahli tidak dapat distandarkan, sehingga ketelitian yang dapat dicapai hanya ±10%.

  • Cara sianmethemoglobin adalah cara yang dianjurkan untuk penetapan kadar hemoglobin di laboratorium karena larutan standar sianmethemoglobin sifatnya stabil, mudah diperoleh dan pada cara ini hampir semua hemoglobin terukur kecuali sulfhemoglobin. Pada cara ini ketelitian yang dapat dicapai ± 2%.
  • Berhubung ketelitian masing-masing cara berbeda, untuk penilaian basil sebaiknya diketahui cara mana yang dipakai. Nilai rujukan kadar hemoglobin tergantung dari umur dan jenis kelamin. Pada bayi baru lahir, kadar hemoglobin lebih tinggi dari pada orang dewasa yaitu berkisar antara 13,6 – 19, 6 g/dl. Kemudian kadar hemoglobin menurun dan pada umur 3 tahun dicapai kadar paling rendah yaitu 9,5 – 12,5 g/dl. Setelah itu secara bertahap kadar hemoglobin naik dan pada pubertas kadarnya mendekati kadar pada dewasa yaitu berkisar antara 11,5 – 14,8 g/dl. Pada laki-laki dewasa kadar hemoglobin berkisar antara 13 – 16 g/dl sedangkan pada perempuan dewasa antara 12 – 14 g/dl.
  • Pada perempuan hamil terjadi hemodilusi sehingga batas terendah nilai rujukan ditentukan 10 g/dl.
  • Penurunan Hb terdapat pada penderita: Anemia, kanker, penyakit ginjal, pemberian cairan intravena berlebih, dan hodgkin. Dapat juga disebabkan oleh obat seperti: Antibiotik, aspirin, antineoplastik(obat kanker), indometasin, sulfonamida, primaquin, rifampin, dan trimetadion.
  • Peningkatan Hb terdapat pada pasien dehidrasi, polisitemia, PPOK, gagal jantung kongesti, dan luka bakar hebat. Obat yang dapat meningkatkan Hb adalah metildopa dan gentamicin.
  • Kadar hemoglobin dapat dipengaruhi oleh tersedianya oksigen pada tempat tinggal, misalnya Hb meningkat pada orang yang tinggal di tempat yang tinggi dari permukaan laut. Selain itu, Hb juga dipengaruhi oleh posisi pasien (berdiri, berbaring), variasi diurnal (tertinggi pagi hari).

Hematokrit

Hematokrit atau volume eritrosit yang dimampatkan (packed cell volume, PCV) adalah persentase volume eritrosit dalam darah yang dimampatkan dengan cara diputar pada kecepatan tertentu dan dalam waktu tertentu. Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui konsentrasi eritrosit dalam darah.

Nilai hematokrit atau PCV dapat ditetapkan secara automatik menggunakan hematology analyzer atau secara manual. Metode pengukuran hematokrit secara manual dikenal ada 2, yaitu metode makrohematokrit dan mikrohematokrit/kapiler.

Nilai normal HMT:

Anak                                      : 33-38%

Laki-laki Dewasa               : 40-50%

Perempuan Dewasa       : 36-44%

Penurunan HMT, terjadi dengan pasien yang mengalami kehilangan darah akut, anemia, leukemia, penyakit hodgkins, limfosarcoma, mieloma multiple, gagal ginjal kronik, sirosis hepatitis, malnutrisi, defisiensi vit B dan C, kehamilan, SLE, athritis reumatoid, dan ulkus peptikum.

Peningkatan HMT, terjadi pada hipovolemia, dehidrasi, polisitemia vera, diare berat, asidosis diabetikum,emfisema paru, iskemik serebral, eklamsia, efek pembedahan, dan luka bakar.

Hitung Eritrosit

Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik atau mikroliter dalah. Seperti hitung leukosit, untuk menghitung jumlah sel-sel eritrosit ada dua metode, yaitu manual dan elektronik (automatik). Metode manual hampir sama dengan hitung leukosit, yaitu menggunakan bilik hitung. Namun, hitung eritrosit lebih sukar daripada hitung leukosit.

Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis. Larutan Pengencer yang digunakan adalah:

  • Larutan Hayem : Natrium sulfat 2.5 g, Natrium klorid 0.5 g, Merkuri klorid 0.25 g, aquadest 100 ml. Pada keadaan hiperglobulinemia, larutan ini tidak dapat dipergunakan karena dapat menyebabkan precipitasi protein, rouleaux, aglutinasi.
  • Larutan Gower : Natrium sulfat 12.5 g, Asam asetat glasial 33.3 ml, aquadest 200 ml. Larutan ini mencegah aglutinasi dan rouleaux.
  • Natrium klorid 0.85 %

Nilai Rujukan

  • Dewasa laki-laki : 4.50 – 6.50 (x106/μL)
  • Dewasa perempuan : 3.80 – 4.80 (x106/μL)
  • Bayi baru lahir : 4.30 – 6.30 (x106/μL)
  • Anak usia 1-3 tahun : 3.60 – 5.20 (x106/μL)
  • Anak usia 4-5 tahun : 3.70 – 5.70 (x106/μL)
  • Anak usia 6-10 tahun : 3.80 – 5.80 (x106/μL)

Penurunan eritrosit : kehilangan darah (perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma multipel, cairan per intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, hidrasi berlebihan

Peningkatan eritrosit : polisitemia vera, hemokonsentrasi/dehidrasi, dataran tinggi, penyakit kardiovaskuler

Indeks Eritrosit
Mencakup parameter eritrosit, yaitu:

Mean cell / corpuscular volume (MCV) atau volume eritrosit rata-rata (VER)

MCV  = Hematokrit (l/l) / Jumlah eritrosit (106/µL)

Normal 80-96 fl

Mean Cell Hemoglobin Content (MCH) atau hemoglobin eritrosit rata-rata (HER)

MCH (pg) = Hemoglobin (g/l) / Jumlah eritrosit (106/µL)

Normal 27-33 pg

Mean Cellular Hemoglobin Concentration (MCHC) atau konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER)

MCHC (g/dL) = konsentrasi hemoglobin (g/dL) / hematokrit (l/l)

Normal 33-36 g/dL

Red Blood Cell Distribution Width (RDW)

RDW adalah perbedaan/variasi ukuran (luas) eritrosit. Nilai RDW berguna memperkirakan terjadinya anemia dini, sebelum nilai MCV berubah dan sebelum terjadi gejala. Peningkatan nilai RDW dapat dijumpai pada anemia defisiensi (zat besi, asam folat, vit B12), anemia hemolitik, anemia sel sabit. Ukuran eritrosit biasanya 6-8µm, semakin tinggi variasi ukuran sel mengindikasikan adanya kelainan.

RDW = standar deviasi MCV / rata-rata MCV x 100

Nilai normal rujukan 11-15%

Hitung Trombosit

Adalah komponen sel darah yang dihasilkan oleh jaringan hemopoetik, dan berfungsi utama dalam proses pembekuan darah. Penurunan sampai dibawah 100.000/ µL berpotensi untuk terjadinya perdarahan dan hambatan pembekuan darah.

Jumlah Normal: 150.000-400.000 /µL

Hitung Leukosit

Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga hitung julah leukosit merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.

Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000-30.000/μl. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000-38.000 /μl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500- 11.000/μl. Pada keadaan basal jumlah leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 — 10.000/μl. Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/μl. Peningkatan jumlah leukosit di atas normal disebut leukositosis, sedangkan penurunan jumlah leukosit di bawah normal disebut lekopenia.

Terdapat dua metode yang digunakan dalam pemeriksaan hitung leukosit, yaitu cara automatik menggunakan mesin penghitung sel darah (hematology analyzer) dan cara manual dengan menggunakan pipet leukosit, kamar hitung dan mikroskop.

Cara automatik lebih unggul dari cara pertama karena tekniknya lebih mudah, waktu yang diperlukan lebih singkat dan kesalahannya lebih kecil yaitu ± 2%, sedang pada cara manual kesalahannya sampai ± 10%. Keburukan cara automatik adalah harga alat mahal dan sulit untuk memperoleh reagen karena belum banyak laboratorium di Indonesia yang memakai alat ini.

Nilai normal leukosit:

Dewasa                : 4000-10.000/ µL

Bayi / anak          : 9000-12.000/ µL

Bayi baru lahir    : 9000-30.000/ µL

Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut disebut leukositosis. Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik. Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan emosi, kejang, takhikardi paroksismal, partus dan haid.

Peningkatan leukosit juga dapat menunjukan adanya proses infeksi atau radang akut, misalnya pneumonia, meningitis, apendisitis, tuberkolosis, tonsilitis, dll. Dapat juga terjadi miokard infark, sirosis hepatis, luka bakar, kanker, leukemia, penyakit kolagen, anemia hemolitik, anemia sel sabit , penyakit parasit, dan stress karena pembedahan ataupun gangguan emosi. Peningkatan leukosit juga bisa disebabkan oleh obat-obatan, misalnya: aspirin, prokainmid, alopurinol, kalium yodida, sulfonamide, haparin, digitalis, epinefrin, litium, dan antibiotika terutama ampicillin, eritromisin, kanamisin, metisilin, tetracycline, vankomisin, dan streptomycin.

Leukopenia adalah keadaan dimana jumlah leukosit kurang dari 5000/µL darah. Karena pada hitung jenis leukosit, netrofil adalah sel yang paling tinggi persentasinya hampir selalu leukopenia disebabkan netropenia.

Penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pada penderita infeksi tertentu, terutama virus, malaria, alkoholik, SLE, reumaotid artritis, dan penyakit hemopoetik(anemia aplastik, anemia perisiosa). Leokopenia dapat juga disebabkan penggunaan obat terutama saetaminofen, sulfonamide, PTU, barbiturate, kemoterapi kanker, diazepam, diuretika, antidiabetika oral, indometasin, metildopa, rimpamfin, fenotiazin, dan antibiotika.(penicilin, cefalosporin, dan kloramfenikol)

Hitung Jenis Leukosit

Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki fungsi yang khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit.  Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/μl).

Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan apus darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May Grunwald. Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga didapatkan 100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%). Jumlah absolut dihitung dengan mengalikan persentase jumlah dengan hitung leukosit, hasilnya dinyatakan dalam sel/μL.

Tabel 2. Hitung Jenis Leukosit

Jenis Nilai normal Melebihi nilai normal Kurang dari nilai normal
Basofil

0,4-1%

40-100/µL

inflamasi, leukemia, tahap penyembuhan infeksi atau inflamasi stress, reaksi hipersensitivitas, kehamilan, hipertiroidisme
Eosinofil

1-3%

100-300/µL

Umumnya pada keadaan atopi/ alergi dan infeksi parasit stress, luka bakar, syok, hiperfungsi adrenokortikal.
Neutrofil

55-70%

(2500-7000/µL)

Bayi Baru Lahir 61%

Umur 1 tahun 2%

Segmen 50-65% (2500-6500/µL)

Batang 0-5% (0-500/µL)

Inflamasi, kerusakan jaringan, peyakit Hodgkin, leukemia mielositik, hemolytic disease of newborn, kolesistitis akut, apendisitis, pancreatitis akut, pengaruh obat Infeksi virus, autoimun/idiopatik, pengaruh obat-obatan
Limfosit

20-40%

1700-3500/µL

BBL 34%

1 th 60%

6 th 42%

12 th 38%

infeksi kronis dan virus kanker, leukemia, gagal ginjal, SLE, pemberian steroid yang berlebihan
Monosit

2-8%

200-600/µL

Anak 4-9%

Infeksi virus, parasit, anemia hemolitik, SLE< RA Leukemia limfositik, anemia aplastik

Laju Endap Darah

Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).

Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen.

Prosedur pemeriksaan LED yaitu:

  1. Metode Westergreen
  • o Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
  • o Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.
  • o Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran maupun sinar matahari langsung.
  • o Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.
  1. Metode Wintrobe
  • o Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amonium-kalium oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
  • o Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur sampai tanda 0.
  • o Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.
  • o Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.
    Nilai Rujukan
  1. Metode Westergreen:
  • Laki-laki : 0 – 15 mm/jam
  • Perempuan : 0 – 20 mm/jam
  1. Metode Wintrobe :
  • Laki-laki : 0 – 9 mm/jam
  • Perempuan 0 – 15 mm/jam

Referensi

Dharma R, Immanuel S, Wirawan R. Penilaian hasil pemeriksaan hematologi rutin. Cermin Dunia Kedokteran. 1983; 30: 28-31.

Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian Rakyat; 2009. hal. 11-42.

Ronald AS, Richard AMcP, alih bahasa : Brahm U. Pendit dan Dewi Wulandari, editor : Huriawati Hartanto, Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004.

Sutedjo AY. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Yogyakarta: Amara Books; 2008. hal. 17-35.

Theml H, Diem H, Haferlach T. Color atlas of hematology; principal microscopic and clinical diagnosis. 2nd ed. Stuttgart: Thieme; 2004.

Vajpayee N, Graham SS, Bem S. Basic examination of blood and bone marrow. In: Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory methods. 21st ed. Editor: McPherson RA, Pincus MR. China: Saunders Elsevier; 2006. hal. 9-20.

Demam dengue (dengue fever/DF) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, lifadenopati, dan trombositopenia. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokosentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok yang dapat menyebabkan kematian.

Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm, bulat, terdiri dari RNA tunggal dengan berat molekul 4×106 Da.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak dibandingkan dengan yang lain. Namun, ada yang mengatakan serotipe DEN-2 lebih bersifat virulen.

Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayahnya. Insiden DBD di di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989-1995); dan pernah meningkat tajam hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1) vektor: perkembangbiakan, kebiasaan menggigit, kepadatan di lingkungan, jenis serotipe, transportasi dari satu tempat ke tempat lain. 2) pejamu: terdapat penderita di lingkungan keluarga, paparan terhadap nyamuk, status gizi, usia (>12 tahun cenderung untuk DBD) dan jenis kelamin (perempuan > laki-laki). 3) lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

Penularan infeksi virus dengue terjadi mellaui vektor nyamuk genus Aedes (Ae. aegypti dan Ae. albopictus). Dari kedua nyamuk ini yang paling dominan untuk menjadi vektor adalah Ae. aegypti. Nyamuk betina paling sering mencari makanan pada siang hari.

Manusia merupakan hospes primer. Ketika nyamuk ini membawa virus setelah menghisap darah dari pasien. Virus dengue dengan mudah dapat ditularkan jika nyamuk tersebut menghisap darah orang lain. Hal ini disebabkan karena virus berada dalam kelenjar ludah nyamuk. Sebelumnya virus akan bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk selama 8-12 hari. selain itu, nyamuk Aedes memiliki waktu hidup yang cukup panjang sekitar 15-65 hari sehingga penularan masih bisa terjadi.

Ketika virus telah masuk ke tubuh pejamu, virus akan memasuki periode inkubasi selama 3-14 hari. Selama itu virus akan bereplikasi di target sel dendritik dan belum menunjukkan onset. Infeksi pada sel target seperti, sel dendritik, hepatosit, dan sel endotelial, mengakibatkan pembentukan respon imun seluler dan humoral terhadap infeksi virus pertama dan berikutnya.

Patogenesis

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:

v  Respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi oleh komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi oleh antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Ini yang disebut dengan antibody dependent enhancement (ADE).

v  Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL6 dan IL-10

v  Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag

v  Selain itu terjadi juga aktivasi komplemen oleh kompleks imun.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun meninggi.

Kurane dan Ennis (1994) merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag menyebabkan aktivasi Th dan Ts sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF alfa, IL-1, PAF, IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Ini juga diperkuat oleh peningkatan C3a dan C5a.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:

v  Supresi sumsum tulang

v  Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen RNA virus dengue dengan teknik RT-PCR. Pemerkisaan antibodi spesifik dengue dapat berupa antibodi total, IgG maupun IgM.

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:

v  Leukosit: dapat normal atau turun.

v  Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8

v  Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

v  Protein/albumin: dap;at terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma

v  SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat

v  Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal

v  Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

v  Golongan darah dan uji cocok serasi

v  Pemeriksaan IgG dan IgM dengue:

IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.

IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Pemeriksaan radiologi

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Asites pada efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

Diagnosis

Demam dengue biasanya menunjukkan gejala yang nonspesifik seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan persaan lelah. Tapi dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue jika terdapat manifestasi hemoragik atau syok yang fatal (sindrom renjatan dengue). Infeksi asimptomatik terlihat pada 80% bayi dan anak-anak. Penyakit menjadi lebih parah pada usia dewasa.

Demam dengue merupakan penyakit demam akut selam 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, petechiae (manifestasi hemoragik), dan leukopenia.

Diagnosis demam berdarah dengue (DBD) dapat ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi:

v  Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari

v  Terdapat minimal satu dari manifesatsi hemoragik seperti petekie, ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, melena, hemetemesis, dll

v  Trombositopenia (<100.000/ul)

v  Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma):

  • Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar umur dan jenis kelamin
  • Penurunan hematokrit >20% setelah terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
  • Efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia

Perbedaan DBD dan DD adalah ada tidaknya kebocoran plasma.

Setelah fase demam, pasien akan mengalami fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan/syok jika tidak ditangani dengan pengobatan yang adekuat.

Nyeri perut yang berkelanjutan disertai muntah, penurunan kesadaran, hipotensi gelisah, nadi yang cepat dan lemah dan hipotermia merupakan gejala dan tanda sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome).

Tatalaksana

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa:

  1. Protokol 1: penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok. Dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan trombosit. Jika terjadi peningkatan Hb, Ht dan terjadi penurunan trombosit, maka tersangka perlu dirawat.
  2. Protokol 2: pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat. Cairan yang diberikan adalah cairan infus kristaloid
  3. Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%. Tetap diberikan asupan cairan kristaloid dengan tetap dipantau nilai Hematokritnya. Jika terjadi perburukan maka jumlah cairan infus ditambah.
  4. Protokol 4: Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa. Pemberian infus cairan tetap seperti keadaan tanpa syok. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin (tiap 4-6 jam). Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata. Transfusi darah diberikan jika terjadi perdarahan masif.
  5. Protokol 5: tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

Pengobatan yang digunakan:

  1. Asetaminofen

Menurunkan panas melalui pengaruhnya secara langsung pada pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus yang membuat vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat.

  1. Cairan kristaloid isotonik

Digunakan untuk meningkatkan volume intravaskular.

  1. Dextrose

Merupakan polimer glukosa. Digunakan untuk meningkatkan volume intravaskular, tekanan darah, dan perfusi kapiler. Digunakan bila pemberian kristaloid isotonik gagal.

Referensi

McPhee P. Current Medical Diagnosis & Treatment 2008. New York: McGraw-Hill Companies; 2007

Peters CJ. Infections caused by Arthropod- and Rodent-Borne Virus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th ed, Editor: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. New York: McGraw Hill; 2005. p. 1161-73.

Shepherd SM. Dengue Fever. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview pada 28 Maret 2010.

Gangguan jiwa (DSM-IV) = “Mental disorder is a conceptualised as clinically significant behavioural or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with present distress (e.g., a painful symptom) or disability (i.e., impairment in one or more important areas of functioning) or with significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom.”

Penggolongan gangguan jiwa pada PPDGJ-III menggunakan pendekatan ateoretik dan deskriptif.

Urutan hierarki blok diagnosis (berdasarkan luasnya tanda dan gejala, dimana urutan hierarki lebih tinggi memiliki tanda dan gejala yang semakin luas):

  1. F00-09 dan F10-19
  2. F20-29
  3. F30-39
  4. F40-49
  5. F50-59
  6. F60-69
  7. F70-79
  8. F80-89
  9. F90-98
  10. Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis (kode Z)

Klasifikasi Gangguan Jiwa

F0 Gangguan Mental Organik, termasuk Gangguan Mental Simtomatik

Gangguan mental organic = gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit/gangguan sistemik atau otak. Gangguan mental simtomatik = pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder penyakit/gangguuan sistemik di luar otak.

Gambaran utama:

  • Gangguan fungsi kongnitif
  • Gangguan sensorium – kesadaran, perhatian
  • Sindrom dengan manifestasi yang menonjol dalam bidang persepsi (halusinasi), isi pikir (waham), mood dan emosi

Fl Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol dan Zat Psikoaktif Lainnya

F2 Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham

Skizofrenia ditandai dengan penyimpangan fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran jernih dan kemampuan intelektual tetap, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang kemudian

F3 Gangguan Suasana Perasaan (Mood [Afektif])

Kelainan fundamental perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan afek biasanya disertai perubahan keseluruhan tingkat aktivitas dan kebanyakan gejala lain adalah sekunder terhadap perubahan itu

F4 Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stres

F5 Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik

F6 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa dewasa

Kondisi klinis bermakna dan pola perilaku cenderung menetap, dan merupakan ekspresi pola hidup yang khas dari seseorang dan cara berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain. Beberapa kondisi dan pola perilaku tersebut berkembang sejak dini dari masa pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai hasil interaksi faktor-faktor konstitusi dan pengalaman hidup, sedangkan lainnya didapat pada masa kehidupan selanjutnya.

F7 Retardasi Mental

Keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh. Dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lain. Hendaya perilaku adaptif selalu ada.

F8 Gangguan Perkembangan Psikologis

Gambaran umum

  • Onset bervariasi selama masa bayi atau kanak-kanak
  • Adanya hendaya atau keterlambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis susunan saraf pusat
  • Berlangsung terus-menerus tanpa remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak gangguan jiwa

Pada sebagian besar kasus, fungsi yang dipengaruji termasuk bahasa, ketrampilan visuo-spasial, koordinasi motorik. Yang khas adalah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia

F9 Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset Biasanya Pada Masa Kanak dan Remaja

Diagnosis Multiaksial

Aksis I

Gangguan Klinis (F00-09, F10-29, F20-29, F30-39, F40-48, F50-59, F62-68, F80-89, F90-98, F99)

Kondisi Lain yang Menjadi Focus Perhatian Klinis

(tidak ada diagnosis à Z03.2, diagnosis tertunda à R69)

Aksis II

Gangguan Kepribadian (F60-61, gambaran kepribadian maladaptive, mekanisme defensi maladaptif)

Retardasi Mental (F70-79)

(tidak ada diagnosis à Z03.2, diagnosis tertunda à R46.8)

Aksis III

Kondisi Medik Umum

Aksis IV

Masalah Psikososial dan Lingkungan (keluarga, lingkungan social, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses pelayanan kesehatan, hukum, psikososial)

Aksis V

Penilaian Fungsi Secara Global (Global Assesment of Functioning = GAF Scale)

100-91   gejala tidak ada, fungsi max, tidak ada masalah yang tidak tertanggulangi

90-81     gejala min, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalh harian biasa

80-71     gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam social

70-61     beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum baik

60-51     gejala dan disabilitas sedang

50-41     gejala dan disabilitas berat

40-31     beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi

30-21     disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi dalam hampir semua bidang

20-11     bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri

10-01     persisten dan  lebih serius

0              informasi tidak adekuat

Tujuan diagnosis multiaksial

  • Informasi komprehensif sehingga membantu perencanaan terapi dan meramalkan outcome
  • Format mudah dan sistematik sehingga membantu menata dan mengkomunikasikan informasi klinis, menangkap kompleksitas situasi klinis, dan menggambarkan heterogenitas individu dengan diagnosis yang sama
  • Penggunaan model bio-psiko-sosial

Referensi

  1. Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993.
  2. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2001.

Panic disorder didefinisikan sebagai panic attack berulang dan tidak terduga dan diikuti oleh

  • Ketakutan yang persisten mendapat serangan kembali
  • Cemas mengenai implikasi dan konsekuensi dari serangan
  • Perubahan pada pola perilaku (misalnya menghindari kerja atau sekolah) akibat serangan

Selain itu, panic attack tidak disebabkan oleh efek langsung penggunaan substansi, medikasi, atau suatu kondisi medis (misal hipertiroidisme) dan tidak dapat dijelaskan oleh kelainan mental lainnya (seperti fobia sosial hanya pada situasi tertentu).

Panic Attack

Merupakan pengalaman kecemasan atau ketidaknyamanan dalam periode diskret dalam keadaan ketiadaan bahaya yang sebenarnya yang berkembang dan memuncak dalam 10 menit dan bersamaan dengan empat atau lebih gejala berikut:

  1. Palpitasi,
  2. Berkeringat
  3. Gemetar
  4. Sensasi sesak napas
  5. Perasaan tercekik
  6. Nyeri dada atau ketidaknyamanan
  7. Mual dan sakit perut
  8. Pusing, seperti akan pingsan
  9. Derealisasi atau depersonalisasi
  10. Takut kehilangan kontrol atau akan gila
  11. Takut mati
  12. Paresthesia
  13. Flushes

Limited symptom attack merupakan penggunaan episode mirip panic attack dengan kurang dari empat  gejala di atas.

Tipe-tipe panic attack:

  1. Unexpected à tidak diasosiakan dengan pemicu internal maupun eksternal
  2. Situationally bound à muncul ketika terekspos dengan pemicu dengan situasi tertentu atau ketika mengantisipasi situasi tersebut
  3. c. Situationally predisposed à biasanya, namun tidak selalu muncul ketika terekspos dengan situasi tertentu

Kriteria untuk agoraphobia

  • Kecemasan pada suatu tempat atau situasi yang sulit untuk dihindari atau sulit mendapat bantuan apabila terjadi panic attack. Kecemasan agorafobik terdiri atas situasi klaster yang karakteristik (misalnya di luar rumah sendirian, dalam keramaian, jembatan).
  • Situasi dihindari dengan penderitaan atau kecemasan yang jelas akan panic attack atau gejala panic like symptoms.
  • Kecemasan tidak dijelaskan oleh kelainan mental lainnya

Etiologi (hipotesis)

  1. Menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C
  2. Meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf pusat, terutama reseptor alfa-2 katekolamin – meningkatnya aktivitas locus coereleus yang mengakibatka teraktivasinya aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap klonidin pada pasien dengan panic disorder)
  3. Meningkatnya aktivitas metabolic sehingga terjadi peningkatan laktat (biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi CO2 ([hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2)
  4. Menurunnya sensitivitas reseptor GABA-A sehingga menyebabkan efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus intraamygdaloid circuitries
  5. Model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi oleh fear network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat batang otak. Terutama pada corticostriatalthalamocortical (CSTC) yang memediasi cemas bersama dengan sirkuit pada amygdale. Kemudian sensai tersebut diteruskan ke korteks anterior cingulated dan/atau korteks orbitofrontal. Selain itu diteruskan juga ke hypothalamus untuk respons endokrin
  6. Hipotesis keterlibatan genetic namun belum berhasil menentukan gen pasti

Gejala-gejala pada penderita panic disorder diduga disebabkan oleh pengaktivan amygdala yang diteruskan ke :

  1. Nukleus parabranchial, menyebabkan peningkatan pernapasan
  2. Nukleus lateral hypothalamus, menyebabkan kesadaran otonom dan pengaktivan saraf simpatis
  3. Locus coereleus, menyebabkan peningkatan norepinefrin à peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan respons takut (misal menggigil)
  4. Nukleus paraventrikular hypothalamus, menyebabkan peningkatan sekresi adrenokortikoid
  5. Regio periaqueductal gray, menyebabkan kebiasaan menghindar

Pengobatan

Biasanya digunakan golongan obat SSRI, SNRI, TCA, benzodiazepin, dan MAOI. Secara umum digunakan obat antidepresan dan anxiolytic.

Klasifikasi menurut PPDGJ

F4 gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress

  • Gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan terkait stress, dikelompokkan menjadi satu dengan alasan bahwa dalam sejarahnya ada hubungan dengan perkembangan konsep neurosis dan berbagai kemungkinan penyebab psikologis.

F40 GANGGUAN ANXIETAS FOBIK

  • Pemicu anxietas dari luar individu (situasi atau objek) yang jelas, yang sebenarnya tidak membahayakan, akibatnya objek itu dihindari
  • Secara subjektif, fisiologik, dan tampilan perilaku, tidak berbeda dengan anxietas yang lain, dengan bentuk dari ringan sampai berat
  • Seringkali berhubungan dengan depresi.suatu episode depresif memperburuk keadaan anxietas fobik. Beberapa episode depresif dapat disertai anxietas fobik temporer, sebaliknya afek depresif seringkali menyertai berbagai fobia. Pembuatan diagnosis tergantung mana yang secara jelas timbul terlebih dahulu dan lebih dominan.

F40.0 Agorafobia

  • Pedoman diagnosis (harus dipenuhi untuk diagnosis pasti)
  1. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik harus manifestasi primer dari anxietas
  2. Anxietas yang timbul, terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan dengan) setidaknya dua dalam situasi berikut: banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri
  3. Menghindari harus merupakan gejala menonjol (mis.penderita menjadi house bound)
  • Karakter kelima: F40.00 tanpa gangguan panik

F40.01 ada gangguan panik

F40.1 Fobia sosial

  • Pedoman diagnosis
  1. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik harus manifestasi primer dari anxietas
  2. Anxietas yang timbul, mendominasi / terbatas pada situasi sosial tertentu (outside family crcle)
  3. Menghindari harus merupakan gejala menonjol
  • Bila sulit membedakan dengan agorafobia, maka hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia

F40.2 Fobia khas (terisolasi)

  • Pedoman diagnosis
  1. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik harus manifestasi primer dari anxietas
  2. Anxietas yang timbul, mendominasi / terbatas adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly spesific situations)
  3. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin menghindarinya
  • Biasanya tidak ada gejala lain yang menyertainya

F40.8 ganguan anxietas fobik lainnya

F40.9 ganguan anxietas fobik YTT

F41 GANGGUAN ANXIETAS LAINNYA

  • Anxietas adalah gejala utama dan tidak terbatas pada situasi lingkungan tertentu lainnya
  • Dapat disertai gejal depresif dan obsesif, atau beberapa unsur dari anxietas fobik, asala jelas saja bahwa sifatnya sekunder atau ringan

F41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)

  • Ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik
  • Diagnosis pasti à harus ditemukan beberapa serangan anxietas berat dalam 1 bulan:
    • Pada keadaan yang secara objektif tidak ada bahaya
    • Tidak terbatas pada situasi yang sudah diketahui sebelumnya (unpredictable situations)
    • Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala anxietas pada periode serangan panik (meskipun demikian, umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisispatorik”, anxietas yang terjadi setelah membayangkan hal yang menakutkan akan terjadi”

F41.1 Gangguan Cemas Menyeluruh

  • Gejala anxietas harus sebagai gejala primer yang terjadi hampir setiap hari untuk beberapa minggu atau beberapa bulan, dan tidak dalam situasi khusus tertentu(“free floating”)
  • Gejala:
    • Kecemasan (sulit berkonsentrasi, khawatir akan nasib buruk, merasa di ujung tanduk)
    • Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai)
    • Overaktivitas autonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar, sesak napas, gangguan lambung, pusing, mulut kering)
    • Pada anak à kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan, dan adanya kleuhan somatik berulang yang menonjol
    • Gejala yang bersifat sementara (mis, depresif), tidak membatalkan diagnosis gangguan cemas menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif, gangguan anxietas fobik, gangguan panik, dan gangguan obsesif-kompulsif

F41.2 Gangguan campuran Anxietas dan Depresi

  • Ada gejala anxietas dan depresi yang tidak cukup berat untuk penegakkan diagnosis tersendiri. Unutk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan, walau tidak terus menerus, di samping rasa cemas yang berlebihan
  • Anxietas berat, depresi ringan à pertimbangkan gangguan anxietas lainnya atau anxietas fobik
  • Anxietas berat, depresif berat (cukup untuk menegakkan diagnosis tersendiri) à kedua diagnosis dikemukakan, tidak bisa disebut gangguan campuran. Utamakan gangguan depresif
  • Apabila gejala berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian

F41. 3 Gangguan Anxietas Campuran lainnya

  • Memenuhi kriteria gangguan cemas menyeluruh dan punya gejala (meskipun dalam jangka pendek) F40-49, akan tetapi tidak lengkap
  • Apabila gejala berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian

F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT

F41.8 Gangguan anxietas YTT

Referensi

Kay J, Tasman A. Essentials of psychiatry. West Sussex:  John Wiley & Sons, 2006: 639-53.

Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya, 2003.

Pine DS. Anxiety disorders: clinical features. In: Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 7th ed, Sadock BJ, Sadock VA (ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000.

Sullivan GM, Coplan JD. Anxiety disorders: biochemical aspects. In: Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 7th ed, Sadock BJ, Sadock VA (ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000.

Aneurisma Intrakranial

Aneurisma intrakranial/ serebral adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah, yang didasarkan atas rusaknya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media dan tunika intima, yang menjadi elastis mengakibatkan kelemahan pada pembuluh darah di daerah tersebut sehingga membentuk tonjolan akibat tekanan pembuluh darah. Sebenarnya aneurisma dapat terjadi di pembuluh darah mana saja di tubuh kita. Apabila aneurisma terjadi pada pembuluh darah di dada, beberapa gejalanya adalah rasa sakit di dada, batuk yang menetap, dan kesulitan untuk menelan. Pada perokok sering terjadi aneurisma pada pembuluh darah di lutut, yang menimbulkan gejala seperti tertusuk-tusuk di belakang lutut. Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah otak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi dari aneurisma dapat menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi perdarahan subarachnoid, intraserebral, subdural, infark serebri, atau hydrocephalus.

Insidensi. Umumnya diderita oleh orang dewasa pada lebih dari dekade kedua kehidupan dengan persentase 6% di seluruh dunia dengan angka kematian lebih dari 50% dengan insidensi pada wanita lebih banyak dibandingkan pria sekitar 2-3 : 1. Penyebab pasti dari aneurisma masih belum diketahui, namun ada beberapa factor risiko yang telah diketahui atau mungkin dicurigai sebagai pemicu terjadinya aneurisma yang dipaparkan di tabel 1.

Klasifikasi. Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan menjadi

·         Aneurisma tipe fusiformis (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan dinding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan botol.

·         Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%). Pada aneurisma ini, kelemahan hanya pada satu permukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk seperti kantong dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. Berdasarkan diametemya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas:

o    Aneurisma sakuler kecil dengan diameter- < 1 cm.

o    Aneurisma sakuler besar dengan diameter antara 1- 2.5 cm.

o    Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter- > 2.5 cm.

·         Aneurisma tipe disekting ( < 1% ).

Predileksi. Lokasi aneurisma: 85-90% pada bagian depan Willis circle; 30–40% pada arteri carotis interna; 30-40% di a. cerebri anterior/communicans anterior; 20-30% di a. cerebri media; 10-15% di a. vertebro-basilaris.

Patofisiologi. Aneurisma sakular berkembang dari defek lapisan otot (tunika muskularis) pada arteri. Perubahan elastisitas membran dalam (lamina elastika interna) pada arteri cerebri dipercayai melemahkan dinding pembuluh darah dan mengurangi kerentanan mereka untuk berubah pada tekanan intraluminal. Perubahan ini banyak terjadi pada pertemuan pembuluh darah, dimana aliran darah turbulen dan tahanan aliran darah pada dinding arteri paling besar.

Aneurisma fusiformis berkembang dari arteri serebri yang berliku yang biasanya berasal dari sistem vertebra basiler dan bisa sampai beberapa cm pada diameternya. Pasien aneurisme fusiformis berkarakter dengan gejala kompresi otak atau nervus kranialis tapi gejala tidak selalu disertai dengan perdarahan subarakhnoid.

Aneurisma yang disebabkan oleh diseksi terjadi karena adanya nekrosis atau trauma pada arteri. Berbentuk seperti gumpalan darah sepanjang lumen palsu, sedangkan lumen sebenarnya kolaps secara otomatis.

Gejala. Aneurisma intrakranial hampir tidak pemah menimbulkan gejala kecuali terjadi pembesaran dan menekan salah satu saraf otak sehingga memberikan gejala sebagai kelainan saraf otak yang tertekan.

Gejala apa yang timbul tergantung dari lokasi dan ukuran aneurisma tersebut. Beberapa gejala yang dapat timbul adalah sakit kepala, penglihatan kabur/ ganda, mual, kaku leher dan kesulitan berjalan. Tetapi beberapa gejala dapat menjadi peringatan (warning sign) adanya aneurisma, yaitu: kelumpuhan sebelah anggota gerak kaki dan tangan, gangguan penglihatan, kelopak mata tidak bisa membuka secara tiba-tiba, nyeri pada daerah wajah, nyeri kepala sebelah ataupun gejala menyerupai gejala stroke. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai dengan kejang, koma, sampai kematian.

Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah.

Gambaran klinik pecahnya aneurisma dibagi dalam 5 tingkat ialah:

·      Tingkat I : Sefalgia ringan dan sedikit tanda perangsangan selaput otak atau tanpa gejala.

·      Tingkat II : Sefalgia agak hebat atau ditambah kelumpuhan saraf otak.

·      Tingkat III : Kesadaran somnolent, bingung atau adanya kelainan neurologik fokal sedikit.

·      Tingkat IV : Stupor, hemiparese sampai berat, mungkin adanya permulaan deserebrasi dan gangguan sistim saraf otonom.

·      Tingkat V : Koma dalam, tanda rigiditas desebrasi dan stadium paralisis cerebral vasomotor.

Diagnosis. Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas. Kadang aneurisma tidak sengaja ditemukan saat ”check up” dengan menggunakan seperti CT scan, MRI atau angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan ukuran aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan ”angiogram” yang juga dipakai sebagai panduan dalam pembedahan.

Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal. Kemungkinan juga bisa terjadi leukositosis yang tidak terlalu berarti.

Penatalaksanaan. Untuk aneurisma yang belum pecah, terapi ditujukan untuk mencegah agar aneurisma tidak pecah, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah pecah, tujuan terapi adalah untuk mencegah perdarahan lebih lanjut dan untuk mencegah atau membatasi terjadinya vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.

Aneurisma biasanya diatasi dengan operasi kraniotomi terbuka, yang dilakukan dengan membedah otak, memasang klip logam kecil di dasar aneurisma, sehingga bagian dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh darah. Terapi lain adalah dengan operasi endovaskuler, yaitu memasukkan kateter dari pembuluh darah arteri di kaki, dimasukkan terus sampai ke pembuluh darah di otak yang terkena aneurisma, dan dengan bantuan sinar X, dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh darah otak tersebut. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam tersebut, dan diharapkan darah di tempat aneurisma itu akan membeku dan menutupi seluruh aneurisma tersebut.

Prognosis. Bergantung pada jenis aneurisma (rupture atau unruptur), bentuk aneurisma, lokasi, waktu penanganan dan kondisi pasien saat dilakukan pengobatan (usia, gejala klinis, kesadaran dan adanya penyakit lain). Semakin cepat ditemukan aneurisma mempunyai kemungkinan kesembuhan yang baik.

Perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke yang paling berbahaya. Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah tinggi menahun. Lebih dari separuh penderita yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal dalam beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali sadar dan sebagian fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah.

Pada perdarahan subarachnoid, sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena luasnya kerusakan otak. 15% penderita meninggal dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.

Referensi

Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The Central Nervous System. In: Kumar V, Abbas A, Fausto N [ed.]. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadeplhia: Saunders.

Ropper AH, Brown RH. The Cerebrovascular Diseases; Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: McGraw Hill: 718-22.

Vega C, Kwoon JV, Lavine SD. Intracranial Aneurysms: Current Evidence and Clinical Practice. American Family Physician, 2002; 66(4): 601-8. Continue Reading »

Anatomi Indra Penglihatan


Organ Penglihatan (Organon Visus; Mata)


Bola mata (bubus oculi), atau organ penglihatan, berada pada kavitas orbita, dimana organ ini dilindungi dari cedera dan pergerkan oleh otot-otot okular serta tulang (os sphenoidale, zygomaticum, frontale, ethmoidale, lacrimale,  dan maxilla). Selain itu, ada pula struktur aksesorius yang berhubungan dengan mata, seperti otot-otot, fascia, alis, kelopak mata, konjungtiva, dan badan lakrimal.

Ukuran bola mata lebih panjang pada diameter transversal dan antero-posterior daripada diameter vertikal. Pada wanita, ketiga diameter tersebut lebih kecil daripada laki-laki. Diameter antero-posterior pada bayi baru lahir berkisar 17.5 mm, dan saat pubertas berkisar 20-21 mm.

Bola mata terbenam dalam lemak di orbita, tetapi dipisahkan dari jaringan tersebut oleh kantung membranosa tipis, fascia bulbi.

Lapisan Mata

Lapisan mata dari luar ke dalam adalah: (1) tunika fibrosa, terdiri dari sklera di bagian belakang dan kornea di bagian depan; (2) tunika vascular berpigmen, di bagian belakang terdapat koroid, dan di bagian depan terdapat badan siliaris dan iris; dan (3) tunika nervosa, retina.

Tunika fibrosa (tunica fibrosa oculi)

Sklera dan kornea membentuk tunika fibrosa bola mata; sklera berada di lima perenam bagian posterior dan opak; kornea membentuk seperenam bagian anterior dan transparan.

Sklera memiliki densitas yang tinggi dan sangat keras, merupakan membran solid yang berfungsi mempertahankan bentuk bola mata. Sklera lebih tebal di bagian belakang daripada di depan; ketebalan di bagian belakang 1 mm. Permukaan eksternal sklera berwarna putiih, dan menempel pada permukaan dalam fascia bulbi; bagian anterior sklera dilapisi membran konjungtiva bulbi. Di bagian depan, sklera berhubungan langsung dengan kornea, garis persatuannya dinamakan sclero-corneal junction atau limbus. Pada bagian dalam sklera dekat dengan junction terdapat kanal sirkular, sinus venosus sclera (canal of Schlemm). Pada potongan meridional dari bagian ini, sinus tampak seperti cekungan (cleft), dinding luarnya terdiri dari jaringan solid sklera dan dinding dalamnya dibentuk oleh massa triangular jaringan trabekular.

Aqueous humor direasorbsi menuju sinus skleral oleh jalur pectinate villi yang analog dengan struktur dan fungsi arachnoid villi pada meninges serebral menuju pleksus vena sklera.

Kornea merupakan bagian proyeksi transparan dari tunika eksternal, dan membentuk seperenam permukaan anterior bola mata. Kornea berbentuk konveks di bagian anterior dan seperti kubah di depan sklera. Derajat kelengkungannya berbeda pada setiap individu.

Tunika vaskular (tunica vasculosa oculi)

Tunika vaskular mata terdiri dari koroid di bagian belakang, badan siliaris serta iris di bagian depan.

Koroid berada di lima perenam bagian posterior bola mata, dan memanjang sepanjang ora serrata. Badan siliaris menghubungkan koroid dengan lingkaran iris. Iris adalah diafrgama sirkular di belakang kornea, dan tampak di sekeliling pusat, apertura bundar, pupil.

Koroid merupakan membran tipis, vaskular, warna coklat tua atau muda. Di bagian belakang ditembus oleh nervus optikus. Lapisan ini lebih tebal di bagian belakang daripada di bagian depan.

Salah satu fungsi koroid adalah memberikan nutrisi untuk retina serta menyalurkan pembuluh darah dan saraf menuju badan siliaris dan iris.

Badan siliaris (corpus ciliare) merupakan terusan koroid ke anterior yang terdapat processus ciliaris serta musculus ciliaris.

Iris dinamakan berdasarkan warnanya yang beragam pada individu berbeda. Iris adalah lempeng (disk) kontraktil, tipis, sirkular, berada di aqueous humor antara kornea dan lensa, dan berlubang di tengah yang disebut pupil. Di bagian perifernya, iris menempel dengan badan siliaris, dan juga terkait dengan; permukaannya rata,  bagian anterior menghadap ke kornea, bagian posterior menghadap prosesus siliaris dan lensa. Iris membagi ruangan antara lensa dan kornea sebagai ruang anterior dan posterior. Ruang anterior mata dibentuk di bagian depan oleh permukaan posterior kornea; di bagian belakang oleh permukaan anterior iris dan bagian tengah lensa. Ruang posterior adalah celah sempit di belakang bagian perifer iris, dan di depan ligamen suspensori lensa dan prosesus siliaris.

Tunika nervosa (Tunica interna)

Retina adalah membran nervosa penting, dimana gambaran objek eksternal ditangkap. Permukaan luarnya berkontak dengan koroid; permukaan dalamnya dengan membran hialoid badan vitreous. Di belakang, retina berlanjut sebagai nervus optikus; retina semakin tipis di bagian depan, dan memanjang hingga badan siliaris, dimana ujungnya berupa cekungan, ora serrata. Disini jaringan saraf retina berakhir, tetapi pemanjangan tipis membran masih memanjang hingga di belakang prosesus siliaris dan iris, membentuk pars ciliaris retina dan pars iridica retina. Tepat di bagian tengah di bagian posterior retina, pada titik dimana gambaran visual paling bagus ditangkap, berupa area oval kekuningan, makula lutea; pada makula terdapat depresi sentral, fovea sentralis. Fovea sentralis retina sangat tipis, dan warna gelap koroid dapat terlihat. Sekitar 3 mm ke arah nasal dari makula lutea terdapat pintu masuk nervus optikus (optic disk), arteri sentralis retina menembus bagian tengah discus. Bagian ini satu-satunya permukaan retina yang insensitive terhadap cahaya, dan dinamakan blind spot.

Media Refraksi

Media refraksi: kornea, aqueous humor, crystalline lens, vitreous body.

Aqueous humor (humor aqueus)

Aqueous humor mengisi ruang anterior dan posterior bola mata. Kuantitas aqueous humor sedikit, memiliki reaksi alkalin, dan sebagian besar terdiri dari air, kurang dari seperlimanya berupa zat padat, utamanya klorida sodium.

Vitreous body (corpus vitreum)

Vitreous body membentuk sekitar empat perlima bola mata. Zat seperti agar-agar ini mengisi ruangan yang dibentuk oleh retina. Transparan, konsistensinya seperti jeli tipis, dan tersusun atas cairan albuminus terselubungi oleh membrane transparan tipis, membran hyaloid. Membran hyaloid membungkus badan vitreous. Porsi di bagian depan ora serrata tebal karena adanya serat radial dan dinamakn zonula siliaris (zonule of Zinn). Disini tampak beberapa jaringan yang tersusun radial, yaitu prosesus siliaris, sebagai tempat menempelnya. Zonula siliaris terbagi atas dua lapisan, salah satunya tipis dan membatasi fossa hyaloid; lainnya dinamakan ligamen suspensori lensa, lebih tebal, dan terdapat pada badan siliaris untuk menempel pada kapsul lensa. Ligamen ini mempertahankan lensa pada posisinya, dan akan relaksasi jika ada kontraksi serat sirkular otot siliaris, maka lensa akan menjadi lebih konveks. Tidak ada pembuluh darah pada badan vitreous, maka nutrisi harus dibawa oleh pembuluh darah retina dan prosesus siliaris.

Crystalline lens (lens crystallina)

Lensa terletak tepat di belakang iris, di depan badan vitreous, dan dilingkari oleh prosesus siliaris yang mana overlap pada bagian tepinya. Kapsul lensa (capsula lentis) merupakan membran transparan yang melingkupi lensa, dan lebih tebal pada bagian depan daripada di belakang. Lensa merupakan struktur yang rapuh namun sangat elastis. Di bagian belakang berhadapan dengan fossa hyaloid, bagian depan badan vitreous; dan di bagian depan berhadapan dengan iris. Lensa merupakan struktur transparan bikonveks. Kecembungannya di bagian anterior lebih kecil daripada bagian posteriornya.

Organ Aksesorius Mata (Organa Oculi Accessoria)

Organ aksesorius mata termasuk otot okular, fascia, alis, kelopak mata, konjungtiva, dan aparatus lakrimal.

Lacrimal apparatus (apparatus lacrimalis)

Apparatus lakrimal terdiri dari (a) kelenjar lakrimal, yang mensekresikan air mata, dan duktus ekskretorinya, yang menyalurkan cairan ke permukaan mata; (b) duktus lakrimal, kantung (sac) lakrimal, dan duktus nasolakrimal, yang menyalurkan cairan ke celah hidung.

Lacrimal gland (glandula lacrimalis) terdapat pada fossa lakrimal, sisi medial prosesus zigomatikum os frontal. Berbentuk oval, kurang lebih bentuk dan besarnya menyerupai almond, dan terdiri dari dua bagian, disebut kelenjar lakrimal superior (pars orbitalis) dan inferior (pars palpebralis). Duktus kelenjar ini, berkisar 6-12, berjalan pendek menyamping di bawah konjungtiva.

Lacrimal ducts (lacrimal canals), berawal pada orifisium yang sangat kecil, bernama puncta lacrimalia, pada puncak papilla lacrimales, terlihat pada tepi ekstremitas lateral lacrimalis. Duktus superior, yang lebih kecil dan lebih pendek, awalnya berjalan naik, dan kemudian berbelok dengan sudut yang tajam, dan berjalan ke arah medial dan ke bawah menuju lacrimal sac. Duktus inferior awalnya berjalan turun, dan kemudian hamper horizontal menuju lacrimal sac. Pada sudutnya, duktus mengalami dilatasi dan disebut ampulla. Pada setiap lacrimal papilla serat otot tersusun melingkar dan membentuk sejenis sfingter.

Lacrimal sac (saccus lacrimalis) adalah ujung bagian atas yang dilatasi dari duktus nasolakrimal, dan terletak dalam cekungan (groove) dalam yang dibentuk oleh tulang lakrimal dan prosesus frontalis maksila. Bentuk lacrimal sac oval dan ukuran panjangnya sekitar 12-15 mm; bagian ujung atasnya membulat; bagian bawahnya berlanjut menjadi duktus nasolakrimal.

Nasolacrimal duct (ductus nasolacrimalis; nasal duct) adalah kanal membranosa, panjangnya sekitar 18 mm, yang memanjang dari bagian bawah lacrimal sac menuju meatus inferior hidung, dimana saluran ini berakhir dengan suatu orifisium, dengan katup yang tidak sempurna, plica lacrimalis (Hasneri), dibentuk oleh lipatan membran mukosa. Duktus nasolakrimal terdapat pada kanal osseous, yang terbentuk dari maksila, tulang lakrimal, dan konka nasal inferior.

Otot-otot ekstraokular

  1. Rectus medialis.
  2. Rectus superior.
  3. Rectus lateralis.
  4. Rectus inferior.
  5. Obliquus superior.
  6. Obliquus inferior.


Gerakan Bola Mata

Sistem kontrol serebral yang mengarahkan gerakan mata ke obyek yang dilihat merupakan suatu sistem yang sangat penting dalam menggunakan kemampuan pengelihatan sepenuhnya. Sistem ini dikatakan sama pentingnya dalam pengelihatan dengan sistem interpretasi berbagai sinyal-sinyal visual dari mata. Dalam mengarahkan gerakan mata ini, tubuh menggunakan 3 pasang otot yang berada di bawah kendali nervus III, IV, dan VI. Nukleus dari ketiga nervus tersebut saling berhubungan dengan fasikulus longitudinalis lateralis, sehingga inervasi otot-otot bola mata berjalan secara resiprokal.

Gerakan Fiksasi Bola Mata

Gerakan fiksasi bola mata dikontrol melalui dua mekanisme neuronal. Yang pertama, memungkinkan seseorang untuk untuk memfiksasi obyek yang ingin dilihatnya secara volunter; yang disebut seabgai mekanisme fiksasi volunter. Gerakan fiksasi volunter dikontrol oleh cortical field pada daerah regio premotor pada lobus frontalis. Yang kedua, merupakan mekanisme involunter yang memfiksasi obyek ketika ditemukan; yang disebut sebagai mekanisme fiksasi involunter. Gerakan fiksasi involunter ini dikontrol oleh area visual sekunder pada korteks oksipitalis, yang berada di anterior korteks visual primer. Jadi, bila ada suatu obyek pada lapang pandang, maka mata akan memfiksasinya secara involunter untuk mencegah kaburnya bayangan pada retina. Untuk memindahkan fokus ini, diperlukan sinyal volunter sehingga fokus fiksasi bisa diubah.

Gerakan saccadic

Gerakan saccadic merupakan lompatan-lompatan dari fokus fiksasi mata yang terjadi secara cepat, kira-kira dua atau tiga lompatan per detik. Ini terjadi ketika lapang pandang bergerak secara kontinu di depan mata. Gerakan saccadic ini terjadi secara sangat cepat, sehingga lamanya gerakan tidak lebih dari 10% waktu pengamatan. Pada gerakan saccadic ini, otak mensupresi gambaran visual selama saccade, sehingga gambaran visual selama perpindahan tidak disadari.

Gerakan Mengejar

Mata juga dapat terfiksasi pada obyek yang bergerak; gerakan ini disebut gerakan mengejar (smooth pursuit movement).

Gerakan vestibular

Mata meyesuaikan pada stimulus dari kanalis semisirkularis saat kepala melakukan pergerakan.

Gerakan konvergensi

Kedua mata mendekat saat objek digerakkan mendekat.

Jaras

Cahaya yang sampai di retina tersebut akan mengakibatkan hiperpolarisasi dari reseptor pada retina. Hiperpolarisasi ini akan mengakibatkan timbulnya potensial aksi pada sel-sel ganglion, yang aksonnya membentuk nervus optikus. Kedua nervus optikus akan bertemu pada kiasma optikum, di mana serat nervus optikus dari separuh bagian nasal retina menyilang ke sisi yang berlawanan, yang kemudian akan menyatu dengan serat nervus optikus dari sisi temporal yang berlawanan, membentuk suatu traktus optikus. Serat dari masing-masing traktus optikus akan bersinaps pada korpus genikulatum lateralis dari thalamus. Kemudian serat-serat tersebut akan dilanjutkan sebagai radiasi optikum ke korteks visual primer pada fisura calcarina pada lobus oksipital medial. Serat-serat tersebut kemudian juga akan diproyeksikan ke korteks visual sekunder.

Selain ke korteks visual, serat-serat visual tersebut juga ditujukan ke beberapa area seperti: (1)nukleus suprakiasmatik dari hipotalamus untuk mengontrol irama sirkadian dan perubahan fisiologis lain yang berkaitan dengan siang dan malam, (2) ke nukleus pretektal pada otak tengah, untuk menimbulkan gerakan refleks pada mata untuk fokus terhadap suatu obyek tertentu dan mengaktivasi refleks cahaya pupil, dan (3) kolikulus superior, untuk mengontrol gerakan cepat dari kedua mata.

Referensi

Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed. New York: Thieme; 2005. p. 130-60.

Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s Anatomy for Students. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2005.

Ganong WF. Review of Medical Physiology. 22nd ed. Singapore: McGrawHill; 2005. p. 148-70.

Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1, 22nd ed; alih bahasa, Y. Joko Suyono; editor edisi bahasa Indonesia, Liliana Sugiharto. Jakarta: EGC; 2006.